Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Kampung Kelelawar Jene Taesa/Parangtinggia

Mengenal Kampung Kelelawar Jene Taesa/Parangtinggia

KALAU selama ini kumpulan kelelawar yang bertengger di sekitar pemukiman warga hanya dikenal di Kabupaten Soppeng, komunitas kelelawar yang dijaga oleh warga juga bisa kita temui di Dusun Batubassi.


Desa ini merupakan desa yang berbatasan langsung dengan Desa Wisata Samangki, kelelawar dan seni-budaya yang ada di desa ini merupakan salah satu objek wisata yang tak kalah menariknya untuk dikunjungi.

Je’ne Taesa kerap mendapat kunjungan para peneliti satwa karena di sana berkembang biak kelelawar. Binatang menyusui ini hidup tenteram berdampingan dengan warga desa, bahkan bisa dibilang saling menjaga. Warga desa meyakini, kelelawar yang bergantungan di pepohonan desa itu sebagai tanda bahwa daerah mereka aman.

Jika ribuan kelelawar itu meninggalkan tempatnya, alamat ada bencana yang akan melanda desa ini. Karena itu warga sekitar tak pernah mengganggu. Bahkan untuk memotretnya pun harus meminta izin ke kepala desa, tetua warga, atau aparat desa lain, dengan menyetor sejumlah uang untuk mengisi kas desa.

Kehadiran kelelawar ini awalnya didatangkan oleh Daeng Pewata, dengan cerita magis yang melingkupinya. Daeng Pewata adalah seorang tetua warga bernama lengkap H Kamaruddin Daeng Pewata. Warga desa sangat menghormatinya.

Menurut Daeng Pewata, pada sekitar akhir 1970-an, dirinya bermimpi didatangi tiga lelaki tua bersorban. Ketiganya berpesan agar Daeng Pewata menuju Pangkep (kabupaten di sebelah utara Maros) membeli kelelawar sebagai ‘penjaga’ desa. Keesokan hari, ia ke Pangkep sesuai pesan dalam mimpinya. Di sana ia bertemu truk pengangkut dari Polmas, yang memang sesekali membawa kelelawar untuk dijual di Makassar.

Sepasang kelelawar pun Daeng Pewata bawa pulang. Sejoli kelelawar tadi Daeng Pewata biakkan dalam kurungan. Dari sepasang menjadi lima ekor, menjadi lima belas, sampai dua puluh ekor. Lantaran repotnya menangani dua puluh ekor dalam kurungan, Daeng Pewata memutuskan melepasnya.

Tapi kelelawar yang dilepas tak mau jauh. Mereka tetap saja bertengger di pohon-pohon yang tumbuh di Je’ne Taesa, kini kelelawar itu berkembang seperti sekarang.

Untuk partisipasi warga menjaga kelelawar ini, lembaga internasional perlindungan kelelawar, Bat Consertvation Internasional pernah memberi desa ini penghargaan. Dari 62 spesies kelelawar yang ada, 3 diantaranya berhasil ditangkarkan warga dan berkembang biak di perkampungan sekitar warga.
Halim
Halim Introvert Yang Senang Baca Buku dan Traveling

2 komentar untuk " Mengenal Kampung Kelelawar Jene Taesa/Parangtinggia"

kandang syukur 6 Juni 2013 pukul 15.40 Hapus Komentar
parangtinggia kha??
Halim 10 Juni 2013 pukul 19.31 Hapus Komentar
hehehe ia dong ...